Guru bukan sekadar profesi—guru adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Ketika kita berbicara tentang masa depan, satu hal yang tidak pernah berubah dari zaman ke zaman: bangsa yang maju adalah bangsa yang memuliakan pendidiknya.
Dalam perspektif Islam, betapa pentingnya posisi guru terlihat dari kisah besar Rasulullah SAW dan awal turunnya wahyu.
Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai seorang ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis.
Namun justru kepada Nabi Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan wahyu pertama yang berkaitan langsung dengan perintah membaca: “Iqra’” (Bacalah!).
Perintah pertama ini bukan sekadar instruksi membaca secara literal, tetapi simbol bahwa perubahan umat dimulai dari ilmu.
Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu:
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Hadits Nabi juga menegaskan keutamaan guru dan penuntut ilmu:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi).
Dan dalam riwayat lain:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Dari sinilah kita memahami bahwa guru—sebagai penyampai ilmu—memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam dan pembangunan peradaban.
Salah satu bukti sejarah bahwa guru merupakan penentu kebangkitan bangsa terjadi setelah tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Dua kota itu luluh lantak, meratakan rumah, fasilitas umum, dan menghentikan aktivitas kehidupan.
Namun pemerintah Jepang tidak menanyakan berapa banyak bangunan tersisa, melainkan satu hal penting:
“Berapa guru yang masih hidup?”
Data sejarah mencatat, di Hiroshima sekitar 90% bangunan hancur, lebih dari 60.000 penduduk meninggal, namun ketika pemerintah menemukan bahwa masih ada ratusan guru yang selamat, mereka yakin bahwa Jepang bisa bangkit kembali.
Sebab bagi mereka, selama ada guru, ada masa depan.
Dan terbukti, tak sampai 20 tahun kemudian Jepang menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Itu karena fondasi pembangunan mereka diletakkan pada pendidikan dan penghormatan terhadap guru.
Jika menengok Indonesia, penghormatan terhadap guru dulu terasa sangat kuat. Guru dianggap orang tua kedua, tokoh bijak di masyarakat, bahkan rujukan moral. Namun fenomena hari ini cukup berbeda. Berdasarkan data UNESCO (2022), Indonesia masih kekurangan lebih dari 1,3 juta guru.
Data Kemendikbud juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% guru honorer menerima gaji kurang dari 1 juta rupiah per bulan.
Beban administrasi yang menumpuk, tekanan sosial, serta minimnya dukungan sistem membuat guru bekerja jauh lebih berat dari yang terlihat.
Hubungan guru–murid pun berubah.
Anak-anak lebih dekat dengan gawai dibanding gurunya, sementara sebagian orang tua lebih cepat menyalahkan guru daripada memahami konteks pendidikan yang kompleks.
Di sisi lain, guru dituntut beradaptasi dengan teknologi, kurikulum baru, serta tantangan sosial modern yang makin rumit.
Namun ada satu hal yang tetap sama: jasa guru tidak tergantikan. Setiap huruf yang kita baca, setiap konsep yang kita pahami, dan setiap kesuksesan yang kita raih adalah buah dari ketulusan seorang guru dalam mendampingi perjalanan hidup kita.
Menghormati guru tidak boleh berhenti pada tanggal 25 November saja. Guru adalah investasi bangsa; selama mereka terus dijunjung dan diberdayakan, masa depan Indonesia akan tetap memiliki cahaya.


0 comments:
Posting Komentar